Hiro si Pejuang

Hiro. BB 2,8kg. PB 46cm.

Tepat 18 Juli 2018 lalu, pada pukul 23 lewat 12 menit, putra pertama saya lahir ke dunia. 

Alhamdulillah, kelahirannya sesuai dengan Hari Perkiraan Lahir (HPL). Mungkin karena saya bicara terus ke Labu bahwa saya ingin ketemu dia on schedule, gak kecepetan, gak kelamaan. Meskipun sekitar sepuluh hari sebelumnya sempat ada drama harus diinduksi untuk segera dilahirkan, yang ternyata tidak diperlukan. Kemudian beberapa hari sebelumnya pun saya sempat mengalami kontraksi palsu. Udah lari ke UGD, ternyata belum pembukaan.

Drama Labu harus diinduksi sekitar 10 hari sebelum HPL sudah saya bagikan sebelumnya di ig story saya. Singkat ceritanya begini:
Pada pemeriksaan USG oleh dokter di RSUD Mampang Prapatan, terlihat ada dua lilitan di leher Labu dan ketuban saya yang mulai keruh. Oleh karena itu dokter merujuk saya ke RSUD Pasar Minggu, yang fasilitas medisnya lebih baik dan apabila ada indikasi untuk melakukan operasi caesar, bisa segera dilakukan di sana. Namun, waktu pemeriksaan USG 4D dilakukan di RSUD Pasar Minggu, rupanya lilitan tali pusat di leher Labu sudah tak terlihat. Tindakan induksi pun ditiadakan saat itu. 

Labu memang super aktif di dalam rahim saya. Waktu saya tau Labu ada dua lilitan di leher, saat itu juga saya bicara sama dia dan Allah SWT untuk membantu melepaskan lilitannya. Usaha saya berhasil memang. Tapi, entah bagaimana Labu terlilit lagi.

PERINGATAN !
Dalam paragraf berikut akan dijelaskan proses persalinan yang mungkin akan jadi hal yang sensitif untuk sebagian orang. Alias agak ngeri dikit gimana gitu. Kalo tahan, monggo dilanjut bacanya. Kalo gak tahan ya.. maap.


Muncul kembalinya lilitan Labu baru saya ketahui lagi sewaktu melahirkannya. Masih terbekas dalam ingatan saya dan suami, wajah ungu Labu yang terlilit tali pusat. Dia tidak menangis, matanya masih terpejam. Begitu lilitannya dilepas, dia membuka matanya, begitu kata suami saya. Saya tidak bisa mengingat semua kejadian yang berlalu sangat cepat itu. Labu langsung dibawa lari ke ruangan bayi, dari sanalah tangisannya baru terdengar.

Jika dihitung secara keseluruhan dari awal saya merasakan gelombang cinta dan bukaan 1, kira-kira persalinan ini memakan waktu hampir seharian. Saya masuk UGD tanggal 18 Juli pukul 01.30 dini hari. Persalinan saya macet, bukaan gak maju-maju juga. Saya sudah mengusahakan sebisa saya yang belakangan saya tau bahwa usaha saya tidak cukup maksimal dan se-ideal ajarannya Bidan Kita. Akhirnya dokter menganjurkan induksi jika saya masih semangat lahiran normal.
masih kontraksi alami
Baik.

Tantangan induksi buatan dengan disuntikannya oksitosin melalui selang infus saya terima. Saya sudah diwanti-wanti induksi buatan ini intensitasnya aduhai nikmatnya. Benar saja.
Saya mulai diinduksi siang hari, saat itu saya baru bukaan 2. Dahsyatnya kontraksi membuat saya gak sanggup lagi buat bergerak. Itu berlangsung sampai malam hari, persalinan saya tetap gak banyak kemajuan. Hingga pukul 10 malam pun saya masih bukaan 7, kondisi saya melemah. Saya sudah pasrah dan terpikir untuk nyerah. Saya gak kuat lagi!

Akhirnya bidan ambil tindakan untuk memacu bukaan. Kepala Labu terlihat! Saya mulai disuruh untuk mengejan. Gak mudah ternyata. Setelah beberapa kali usaha keras yang tak akan mengkhianati, Labu terlahir.

Momen-momen indah ala instagram yang saya idamkan buyar sudah. Saya bahkan gak sempat IMD (Inisiasi Menyusui Dini) saat itu. Suami saya juga gak bisa segera meng-adzan-kan Labu. Kami hanya pasrah berharap Labu baik-baik aja. Lagipula, persalinan saya belum selesai; plasenta dan selaput ketuban saya yang entah bagaimana terkoyak dan tertinggal di dalam rahim saya harus dikeluarkan. Cukup mengerikan jika dituliskan di sini, intinya seluruh benda itu harus dikeluarkan secara manual alias tangan bidan merogoh masuk ke dalam rahim saya, dan itu sungguh nikmat sakitnya. Rasanya persis kayak mau ngelahirin lagi.
Belum selesai dengan semua itu, saya mendapatkan jahitan, tanda cinta ekstra di perineum saya yang sengaja digunting. Mantap!

Setelah itu semua selesai, dalam waktu 2 jam saya harus bisa jalan ke toilet sendiri dan saya diharuskan berkemih. Padahal selama kontraksi saya terus-terusan berkemih, yang saya pikir itu air ketuban. Daster yang saya pakai sudah basah, sebasah-basahnya, saya udah gak betah. Pengen banget mandi! Tapi saya belum dipindahkan ke ruang rawat inap.


Saya baru dipindahkan ke ruang rawat inap sekitar pukul 3:50 dini hari. Di saat itulah pertama kalinya saya bertemu bayi saya. Saya merelakan kasur saya untuk ditempati suami yang sudah kelelahan, sedangkan saya memilih untuk segera mandi. Selesai mandi, saya baru teringat. Bayi belum diadzanin! Suami langsung melaksanakan tugasnya. Adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Bismillah.. Semoga putra kami menjadi muslim yang beriman dan sholeh. Aamiin..


***

Lilitan tali pusat, kondisi saya yang kelelahan, affirmasi yang kurang kuat, mungkin menjadi faktor lambatnya persalinan saya. Persalinan saya mungkin gak sempurna, jauh dari bayangan saya tentang bersalin secara spontan pervaginam yang nyaman dan minim trauma. Tetapi saya sangat bersyukur, saya, suami, dan Labu bisa melewati ini semua. Yang terpenting, Labu selamat.

Bayi kami seorang pejuang. Kami memanggilnya Hiro.

Comments

Popular Posts