Saya dan Jepang : Sorry, Tokyo. You're Just Not My Type.
Hallo semua.
Sudah 2 bulan berlalu sejak saya kembali ke Indonesia dan saya amat sangat bersyukur bisa kumpul sama keluarga saya lagi. Insya Allah kali ini saya yakin bahwa saya memang seharusnya ada di sini, di rumah. Terlebih saya sedang hamil manja.
Cerita kali ini sebenarnya ingin saya bagikan sebelum kepulangan saya dari Tokyo. Agar emosi saya dengan kota itu masih melekat. Tapi saat itu saya sudah terlampau lelah dengan segala rutinitas dan kehamilan trimester pertama saya yang seperti kebanyakan orang, draining my energy.
Cerita terakhir yang saya bagikan waktu itu adalah soal ngidam.
Monggo dilihat lho kalau belum baca. Insya Allah lanjutan dari cerita itu akan saya bagikan setelah cerita yang ini selesai.
Oke.
Saya pernah berkeluh kesah sebelumnya tentang ibukota Negara Matahari Terbit ini, secuil di cerita tentang Labu. Tentang betapa lelahnya mengalami hamil muda di sana. Sekarang saya mau cerita dari sudut pandang saya sebagai residen Tokyo sementara.
Mari.
1. Tokyo, Orang Semua.
Saya gak pernah merasa begitu mual melihat jumlah orang yang membanjiri stasiun Shinjuku, tempat yang paling saya hindari. Mungkin memang begitu ibukota. Entah ada berapa banyak jenis orang berkumpul di sini. Selama saya di sini, hampir gak pernah saya merasakan kereta yang gak penuh.
2. Orang Tokyo, Bau.
Kebanyakan orang mungkin mengeluhkan tentang sikap orang Tokyo yang terkenal "tsumetai" alias dingin. Saya pun diwanti-wanti oleh salah satu teman saya,
Namun itu tidak bertahan lama.
Mungkin ini cuma karena penciuman saya lagi sensisitf selama hamil, saya harus pakai masker kalau keluar rumah. Begitu naik kereta yang pastinya berdesakan, menghirup bau napas orang lain ketika mereka nguap di pagi hari pasti tak terhindarkan. Saya hampir muntah di kereta yang penuh.
Sulit membingkai senyum ketika hidung harus dijejalkan bau yang tidak sedap.
Tanpa saya sadari saya mulai jadi "tsumetai".
3. Segalanya mahal.
2. Orang Tokyo, Bau.
Kebanyakan orang mungkin mengeluhkan tentang sikap orang Tokyo yang terkenal "tsumetai" alias dingin. Saya pun diwanti-wanti oleh salah satu teman saya,
Hati-hati nanti berubah jadi tsumetai lho di sana.Sejak tiba di Tokyo, saya berusaha untuk selalu tersenyum, takut tertular dinginnya orang Tokyo, saya harus punya tameng. Saya pikir senyum bisa membantu.
Namun itu tidak bertahan lama.
Mungkin ini cuma karena penciuman saya lagi sensisitf selama hamil, saya harus pakai masker kalau keluar rumah. Begitu naik kereta yang pastinya berdesakan, menghirup bau napas orang lain ketika mereka nguap di pagi hari pasti tak terhindarkan. Saya hampir muntah di kereta yang penuh.
Sulit membingkai senyum ketika hidung harus dijejalkan bau yang tidak sedap.
Tanpa saya sadari saya mulai jadi "tsumetai".
3. Segalanya mahal.
Saya pernah membandingkan biaya hidup di suatu desa di Prefektur Miyazaki dengan biaya hidup di kota besar, Osaka. Saya pikir gak terlalu jauh dan saya harusnya juga bisa membiasakan diri di Tokyo saat itu.
Ternyata saya salah.
Gak ada yang namanya sewa apartemen seharga 50,000yen (sekitar 5,5juta rupiah) di pusat kota Tokyo dengan fasilitas yang mencukupi (toilet, kamar mandi dan dapur). Dengan harga segitu, kamar yang bisa kamu sewa hanya satu petak ruangan dan satu petak kecil toilet, di dalam gedung tua. Kamar mandi? Kamu harus ke tempat pemandian umum.
Pantesan saya mengeluhkan poin no.2 tadi.
Jangan harap juga bisa makan siang murah dengan menu yang bervariasi di sini. Kalau kamu mau berhemat, pilihanmu cuma makan gyudon; Yoshinoya, Sukiya, Matsuya atau bento dingin 500yen.
Untungnya di Tokyo masih ada Supermarket Gyoumu, selain relatif murah, mereka juga punya koleksi makanan halal. Berhemat dengan masak sendiri itu wajib.
Tapi perlu diingat lagi, trimester pertama kehamilan sungguh tidak mudah untuk dilewati. Masak adalah tantangan yang melelahkan dan membuat saya mual.
4. Segalanya jauh.
Karena saya harus mencari hunian yang harga sewanya "masuk akal" artinya saya harus ke daerah pinggiran Tokyo. Yang berarti pula saya harus rela menghabiskan waktu sekitar 1 jam perjalanan (kereta 40menitan, sisanya jalan kaki dari stasiun atau untuk transit dengan kecepatan jalan ibu hamil) untuk menuju kantor saya yang berlokasi 10 menit jalan kaki dari stasiun Kanda.
Perjalanan yang menghabiskan waktu yang gak sedikit ini juga harus saya rasakan ketika mau cari hiburan ke pusat-pusat perbelanjaan.
Makanya hampir 3 bulan saya tinggal di sana, jangan heran kalau saya gak bisa eksplor apa-apa.
No Disneyland, No Sanrioland, No Tokyo Tower, No Tsukiji Market, No Gala Yuzawa.
Weekend saya kebanyakan hanya untuk tidur. Saya terlampau lelah dengan jarak.
Beda banget sama waktu saya tinggal di Osaka.
Kebetulan dan sangat beruntung saya bisa tinggal di Nipponbashi sanaan dikit. Mau makan di luar atau window shopping tinggal jalan kaki ke stasiun Namba. Mau cari oleh-oleh atau karaoke sampai pagi tinggal sepedaan beberapa menit ke Dotonbori. Mau hunting barang-barang branded buat yang nitip tinggal sepedaan sedikit lebih jauh lagi dari Dotonbori ke Shinsaibashi atau Amemura.
Ke mana-mana dekat dan murah di Osaka.
Ternyata saya salah.
Gak ada yang namanya sewa apartemen seharga 50,000yen (sekitar 5,5juta rupiah) di pusat kota Tokyo dengan fasilitas yang mencukupi (toilet, kamar mandi dan dapur). Dengan harga segitu, kamar yang bisa kamu sewa hanya satu petak ruangan dan satu petak kecil toilet, di dalam gedung tua. Kamar mandi? Kamu harus ke tempat pemandian umum.
Pantesan saya mengeluhkan poin no.2 tadi.
Jangan harap juga bisa makan siang murah dengan menu yang bervariasi di sini. Kalau kamu mau berhemat, pilihanmu cuma makan gyudon; Yoshinoya, Sukiya, Matsuya atau bento dingin 500yen.
Untungnya di Tokyo masih ada Supermarket Gyoumu, selain relatif murah, mereka juga punya koleksi makanan halal. Berhemat dengan masak sendiri itu wajib.
Tapi perlu diingat lagi, trimester pertama kehamilan sungguh tidak mudah untuk dilewati. Masak adalah tantangan yang melelahkan dan membuat saya mual.
4. Segalanya jauh.
Karena saya harus mencari hunian yang harga sewanya "masuk akal" artinya saya harus ke daerah pinggiran Tokyo. Yang berarti pula saya harus rela menghabiskan waktu sekitar 1 jam perjalanan (kereta 40menitan, sisanya jalan kaki dari stasiun atau untuk transit dengan kecepatan jalan ibu hamil) untuk menuju kantor saya yang berlokasi 10 menit jalan kaki dari stasiun Kanda.
Perjalanan yang menghabiskan waktu yang gak sedikit ini juga harus saya rasakan ketika mau cari hiburan ke pusat-pusat perbelanjaan.
Makanya hampir 3 bulan saya tinggal di sana, jangan heran kalau saya gak bisa eksplor apa-apa.
No Disneyland, No Sanrioland, No Tokyo Tower, No Tsukiji Market, No Gala Yuzawa.
Weekend saya kebanyakan hanya untuk tidur. Saya terlampau lelah dengan jarak.
Beda banget sama waktu saya tinggal di Osaka.
Kebetulan dan sangat beruntung saya bisa tinggal di Nipponbashi sanaan dikit. Mau makan di luar atau window shopping tinggal jalan kaki ke stasiun Namba. Mau cari oleh-oleh atau karaoke sampai pagi tinggal sepedaan beberapa menit ke Dotonbori. Mau hunting barang-barang branded buat yang nitip tinggal sepedaan sedikit lebih jauh lagi dari Dotonbori ke Shinsaibashi atau Amemura.
Ke mana-mana dekat dan murah di Osaka.
***
Oke.
Cukup 4 poin saja yang bisa saya sampaikan di sini. Mungkin ada di antara pembaca yang pernah tinggal di Tokyo dan gak setuju dengan tulisan saya, silahkan aja. Saya cuma mau kasih tau 1 hal, jelas beda hidup sebagai pekerja part-time atau kerja kasar sambil sekolah, dengan hidup sebagai pekerja kantoran di kota besar di Jepang. Kebetulan saya diberi pengalaman yang kurang menyenangkan di Tokyo, ditambah lagi kondisi kesehatan saya yang kurang fit.
Keinginan saya untuk kembali ke Jepang ketika Labu lahir mungkin hilang sementara ini. Saya literally bosan dengan Jepang :)) Saya harus menyalahkan Tokyo akan hal ini. Sorry.
Mungkin kalau ada kesempatan lagi, saya akan kembali ke Osaka, ketemu teman-teman saya di maid cafe sambil bawa Labu.
So, Japan, see you when I see you. Sayonara!
Nice info sis.
ReplyDeletethanks, gan.
Delete