Inikah Namanya Hina?

Bulan Februari yah ini.

Artinya gue akan menemui tanggal-tanggal yang biasanya dirayakan tapi gak betul-betul mau gue temui. Empat belas dan Dua puluh dua; Valentine dan ulang tahun gue yang ke dua puluh tiga. Bukannya gue mau mengelak dari kenyataan bahwa sampai saat ini gue masih sendiri dan pertambahan usia yang mengingatkan gue suatu saat akan mati, cuma aja makin ke sini berasa dikejar deadline sendiri.

Beberapa hari yang lalu, gue pikir gue bisa sedikit bersuka cita dan mulai memupuk asa. Setelah selama kira-kira 18 bulan gue gak punya teman dekat laki-laki, akhirnya ada yang nyantol juga. Namanya beberapa waktu lalu sempat gue mention di twitter, pasangan LDR, gue nyebutnya. Dia di Semarang, gue di Jakarta. Dia belum lulus kuliah di UnDip D3, gue udah hampir setahun bekerja. Gue gak melihat statusnya, gue cukup senang aja ada yang bisa diucapin selamat pagi tiap gue bangun tidur. Ada yang bisa gue perhatiin setiap harinya. Ada yang bisa bikin gue sibuk dengan smartphone gue, akhirnya.


Cerita gue sama dia gak berlangsung lama ternyata. Dengan segala drama yang dimulai dengan komedi berubah jadi derita. Coba lo pikir aja, gue terbiasa single di Jakarta, harus berubah menjadi perempuan penurut dengan seorang lelaki yang bahkan ga ada di sisi gue !

Gue akui gue mungkin agak aneh memilih sebagai orang yang nurut-nurut aja; mau-mau aja orang  lain nyuruh apa. Selama orang itu pantas untuk gue jadikan pemimpin diri gue, sayang tanpa syarat, gue merasa gue sanggup jadi sosok yang baik buat dia tanpa menghilangkan sifat gue yang sesungguhnya.
Tapi, dia yang berulang kali dengan mudahnya sebut kalimat cinta dan sayang --dan gue terlena, lebih sering menunjukkan yang sebaliknya, apakah orang seperti itu pantas gue jadikan imam gue untuk ke depannya?

Lama-lama yang ditunjukkan dia bukan kedewasaan yang selama ini menjadi harga dirinya. Dia merasa paling waras di antara yang lainnya. Gue kebagian jadi manusia yang seakan dari lahir aja sudah salah. Dia membuat gue merasa nilai-nilai yang gue anut selama gue hidup ini ga ada artinya.
Sempat gue berpikir bahwa ini dia lakukan semata untuk menjaga gue. Namun kelamaan, gue mulai gak percaya sama pemikiran gue sendiri. terbantahkan begitu saja dengan sikap-sikap dia yang selalu bertentangan dengan gue.

Anggaplah di sini gue yang egois. Jika memang begitu adanya, egoiskah gue untuk mencari kesenangan sendiri dan mulai melepaskan diri dari genggamannya?

Untuk kamu yang selalu benar, aku si 20% yang kamu pandang sebelah mata; yang kamu tampik kebenarannya; Aku ini ada. Bukan sesuatu yang sesukamu bisa kamu cipta. Aku punya jiwa. Dan jiwaku berkata bukan kamu orangnya !

Aku harusnya mengindahkan perkataanmu yang memintaku berlayar saja. Aku (masih) terlalu liar untuk kamu miliki. Iya.

Kisah gue yang tadinya gak mau gue bikin drama pada akhirnya membuncahkan air mata juga. Air mata yang tumpah bukan karena akhirnya pisah sama dia. Tapi untuk meratapi betapa bodohnya gue, yang bisa dengan tega membiarkan hati terluka untuk kisah cinta yang tak seberapa.

Inikah namanya hina?

Comments

Popular Posts